Menu Close

Kepala Babi dan Tikus: Metafora Kontrol Negara terhadap Kebebasan Pers

sumber istockphoto

Kepala Babi dan Tikus: Metafora Kontrol Negara terhadap Kebebasan Pers

Author: Rizki Rahayu Fitri, SH.,MH

Dalam era demokrasi modern, kebebasan pers sering kali dianggap sebagai elemen fundamental dalam memastikan transparansi serta akuntabilitas pemerintahan. Namun, realitasnya menunjukkan bahwa di banyak negara, kebebasan pers lebih sering dijadikan sekadar simbol tanpa substansi yang nyata. Fenomena ini dapat dijelaskan melalui “Teori Kepala Babi dan Tikus”, di mana kepala babi melambangkan citra demokrasi yang tampak ideal, sementara tikus-tikus yang bersembunyi di dalamnya secara sistematis merusak kebebasan pers.

Kepala Babi: Ilusi Kebebasan Pers dalam Demokrasi

Dalam konteks ini, kepala babi mencerminkan upaya pemerintah dalam membangun citra seolah-olah mereka mendukung kebebasan pers. Mereka menciptakan regulasi yang terlihat demokratis, mendirikan lembaga pengawas media, dan sering kali mengumandangkan pentingnya kebebasan berekspresi. Namun, realitasnya justru bertolak belakang. Regulasi yang seharusnya melindungi jurnalis malah sering dijadikan alat untuk membungkam mereka. Undang-undang yang bersifat ambigu dan multitafsir kerap digunakan untuk menjerat wartawan yang mengungkap fakta yang tidak menguntungkan penguasa.

Di banyak negara, lembaga peradilan bahkan dimanfaatkan sebagai alat untuk mengkriminalisasi jurnalis. Sebagai contoh, di Indonesia, Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) kerap digunakan untuk menuntut wartawan atau aktivis yang mengkritik kebijakan pemerintah. Begitu pula dengan undang-undang keamanan nasional di beberapa negara lain, yang menjadi alat efektif bagi penguasa untuk menekan kebebasan pers.

Tikus: Aktor yang Menggerogoti Kebebasan Pers

Sementara itu, tikus-tikus yang secara sistematis merusak kebebasan pers adalah mereka yang bekerja di balik layar untuk membatasi ruang gerak jurnalis dan media independen. Mereka bisa berasal dari kalangan elite politik yang menggunakan instrumen hukum untuk menekan media, pemilik modal yang mengendalikan pemberitaan demi kepentingan bisnis, atau bahkan institusi yang seharusnya melindungi kebebasan pers tetapi justru berperan dalam menekan jurnalis kritis. Akibatnya, wartawan yang menyuarakan kebenaran kerap menghadapi ancaman hukum, tekanan ekonomi, hingga kekerasan fisik.

Selain itu, ada bentuk sensor yang lebih halus namun tetap efektif, yang dikenal sebagai soft censorship. Teknik ini mencakup kendali pemerintah atas distribusi dana iklan kepada media tertentu atau tekanan terhadap pemilik media agar membatasi pemberitaan kritis. Sensor semacam ini tidak selalu bersifat eksplisit, tetapi dampaknya sangat nyata dalam membatasi independensi jurnalis dan kualitas informasi yang sampai ke publik.

Dampak Pengkebirian Pers terhadap Demokrasi

Semakin kuat dominasi para tikus ini, semakin besar pula dampak negatifnya terhadap demokrasi. Pers yang seharusnya menjadi pilar utama dalam sistem check and balance malah bertransformasi menjadi alat propaganda yang menyebarkan narasi sesuai kepentingan penguasa. Akibatnya, masyarakat kehilangan akses terhadap informasi yang objektif, sementara pemberitaan yang disajikan semakin sarat dengan bias dan manipulasi. Demokrasi yang idealnya bersandar pada transparansi dan partisipasi publik pun menjadi semakin rapuh.

Dalam kondisi seperti ini, masyarakat kesulitan membedakan antara fakta dan propaganda. Hoaks serta misinformasi semakin berkembang pesat, sementara media independen semakin terpinggirkan. Jika dibiarkan, situasi ini dapat melemahkan fungsi kontrol yang seharusnya dimiliki oleh pers dalam suatu negara demokratis.

Pengkebirian Pers di Berbagai Negara

Fenomena ini dapat diamati di berbagai negara yang menerapkan strategi sistematis untuk membatasi kebebasan pers:

Rusia – Pemerintah memberlakukan undang-undang yang melarang penyebaran informasi yang dianggap bertentangan dengan narasi resmi negara, khususnya terkait operasi militer mereka. Banyak media independen dipaksa tutup atau beroperasi dari luar negeri. China – Pemerintah memiliki sensor ketat terhadap pemberitaan yang tidak sesuai dengan kepentingan negara. Jurnalis yang melanggar aturan dapat dikenakan hukuman berat, termasuk pemenjaraan. Turki – Pemerintahan Erdogan telah menangkap banyak jurnalis dan menutup berbagai media yang dianggap kritis terhadap pemerintah. Myanmar – Setelah kudeta militer pada tahun 2021, pers menjadi salah satu target utama represi. Banyak wartawan dipenjara atau diintimidasi. Indonesia – Meski kebebasan pers dijamin secara hukum, tekanan terhadap media tetap terjadi dalam berbagai bentuk, seperti kriminalisasi jurnalis, intervensi pemilik modal, serta tekanan ekonomi terhadap media independen.

Perlawanan terhadap Pengkebirian Pers

Untuk menjaga agar demokrasi tetap berfungsi sebagaimana mestinya, upaya perlawanan terhadap pembungkaman pers harus terus dilakukan. Media independen, masyarakat sipil, dan organisasi advokasi kebebasan pers harus bersatu dalam menghadapi segala bentuk tekanan terhadap jurnalis. Jika tidak, demokrasi hanya akan menjadi ilusi, di mana citranya tampak megah, tetapi pada kenyataannya membusuk di dalam.

Beberapa langkah yang dapat diambil untuk memperjuangkan kebebasan pers meliputi:

  • Mendukung media independen agar tetap mampu bertahan dan memberikan informasi yang objektif kepada publik.
  • Mendorong perlindungan hukum bagi jurnalis agar mereka tidak mudah dikriminalisasi hanya karena menjalankan tugasnya.
  • Meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya kebebasan pers dalam menjaga demokrasi yang sehat.
  • Menekan pemerintah agar lebih transparan dalam mengelola regulasi terkait media dan kebebasan berekspresi.

Jika kebebasan pers terus dikebiri, demokrasi hanya akan menjadi sandiwara, di mana informasi dikendalikan oleh segelintir pihak yang memiliki kepentingan politik dan ekonomi. Oleh karena itu, mempertahankan kebebasan pers bukan hanya tugas jurnalis, tetapi juga tanggung jawab seluruh masyarakat yang ingin mempertahankan demokrasi yang sehat dan berfungsi sebagaimana mestinya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.

The reCAPTCHA verification period has expired. Please reload the page.