Menu Close

Tom Lembong dan Hakim Korup

Tom Lembong dan Hakim Korup: Ketika Keadilan Menjadi Dagangan

Adamsyah

Kita hidup di zaman di mana keadilan bukan lagi soal moral, tapi soal modal. Ketika nama Tom Lembong—mantan pejabat tinggi yang dulu dielu-elukan sebagai technocrat bersih—disebut dalam pusaran kasus korupsi, publik mungkin masih terpecah antara heran dan… tidak terkejut. Tapi cerita menjadi jauh lebih absurd ketika hakim yang mengadilinya justru terseret dalam pusaran kasus serupa. Maka lengkaplah ironi republik hukum kita: koruptor diadili oleh koruptor, lalu dimintai sumpah di atas kitab yang telah lama menjadi alat pelengkap formalitas belaka.

Seharusnya pengadilan adalah tempat terakhir rakyat menggantungkan harapan atas keadilan. Namun, bagaimana mungkin publik percaya jika palu hakim bisa dibeli, dan pasal-pasal bisa diperdagangkan dalam lobi ruang sidang? Kasus Tom Lembong bukan hanya membuka dugaan korupsi di tubuh pejabat, tetapi membongkar struktur kartel yudisial yang diam-diam menjadi jaringan tak kasatmata: mafia hukum yang bekerja lembur di balik jubah dan toga.

Sebagaimana dikatakan Prof. Satjipto Rahardjo, “Hukum bukan hanya teks, tetapi institusi yang hidup dalam masyarakat.” Sayangnya, institusi hukum kita hidup seperti vampir: menghisap darah kepercayaan publik untuk menghidupi oligarki.

Dalam sistem hukum yang seharusnya menjunjung prinsip equality before the law, kita justru dihadapkan pada kenyataan inequality by connection. Tom Lembong, yang pernah menjadi wajah modernisasi ekonomi Indonesia, kini menjadi representasi ironi bahwa technocrat pun bisa tergelincir ketika sistem politik dan hukum lebih mirip kasino daripada konstitusi.

Dan sang hakim? Alih-alih menjadi pengadil, justru menjadi bagian dari transaksi. Seorang “tukang palu” yang ternyata juga tukang palak. Konon, di balik meja hijau, ada tarif informal untuk setiap vonis: dari diskon dakwaan sampai cicilan putusan.

Dalam negara demokrasi yang sehat, kontrol atas kekuasaan bersifat horisontal dan vertikal. Namun ketika aktor politik, birokrat technocratic, dan penegak hukum justru saling menutup-nutupi, maka terbentuklah imunitas struktural—di mana bukan hukum yang memberi perlindungan, tapi jaringan kekuasaan yang melingkupinya. Bayangkan, bagaimana mungkin publik percaya pada reformasi hukum jika orang yang harusnya disucikan dari intervensi justru menjadi pelaku utama persekongkolan jahat?

Kalau koruptor diadili oleh koruptor, lalu diampuni oleh lembaga yang juga korup, maka republik ini bukan sedang dalam bahaya, tapi sudah jadi dagelan. Dalam pertunjukan teater hukum yang penuh sandiwara ini, rakyat hanya jadi penonton yang disuruh diam dan bayar pajak. Sementara elite, baik yang berjas atau berjubah, terus menari di atas reruntuhan hukum yang mereka koyak sendiri.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.

The reCAPTCHA verification period has expired. Please reload the page.